Suara, serangga penyerbuk dan konsentrasi nectar

Bagikan

Bagi sobat medsos yang mainstream menilai serangga penyerbuk seperti lebah yang terbang mengepakan sayapnya mendatangi bunga dengan suara yang mendengung berisik suatu hal lumrah. Karena memang seperti itu adanya sang lebah akan mendatangi bunga untuk menghisap nectar dan mengambil serbuk sari. Kemudian nectar diolah lebah menjadi madu dengan rasa dominan manis dengan tingkat kemanisan yang beragam. Kemudian sebuk sari dikemas menjadi pollen.  Sebaliknya bagi bunga datangnya lebah dapat menjadi agen membatu untuk penyerbukan.Tapi bagi sekelompok ilmuwan di Tel Aviv University melihatnya dari sudut pandang yang lain. “Apakah bunga dapat mendengar suara lebah yang mendenggung?”

Berbekal rasa penasarannya, Handy dan keenam rekannya melakukan penelitian menggunakan objek bunga mawar sore (Oenothera drummondii). Dalam publikasi ilmiahnya yang dimuat di Journal Ecology Letters, (2019) 22: 1483–1492, beberapa menit setelah bunga merasakan suara dari serangga penyerbuk, tanaman meningkatkan konsentrasi gula dalam nektar bunganya. Proses ini dianggap bahwa bunga itu sendiri memiliki kemampuan seperti telinga untuk mendengar, dan menangkap frekuensi tertentu dari sayap lebah sambil mengabaikan suara lain seperti angin. Hadany menyimpulkan tanaman yang mampu merespons suara akan membantu dirinya bertahan dan mewariskan genetik yang dimiliki.

Awalnya penelitian dilakukan di dalam laboratorium. Bunga diseting dalam lima kondisi suara, yaitu hening sama sekali, rekaman lebah madu dari jarak empat inci, dan suara yang dihasilkan oleh komputer dalam frekuensi rendah, menengah, dan tinggi. Bunga yang diberi perlakukan senyap, ditempatkan di bawah toples kaca penahan getaran. Hasilnya, bunga tidak mengalami peningkatan yang signifikan dalam konsentrasi gula nektar. Hal yang sama berlaku untuk tanaman yang terpapar suara frekuensi tinggi (158 hingga 160 kilohertz) dan frekuensi menengah (34 hingga 35 kilohertz).

Teramati fenomena yang berbeda ketika tanaman yang mendapat pemutaran ulang suara lebah (0,2 hingga 0,5 kilohertz) dan juga suara frekuensi rendah (0,05 hingga 1 kilohertz). Setelah tiga menit mendengar rekaman tersebut, konsentrasi gula dalam tanaman meningkat dari antara 12 dan 17 persen menjadi 20 persen.

Mengetahui hipotesisnya benar-benar terjawab, mereka cukup terkecut, mungkin setengah tidak percaya. Sehingga mereka mengulanginya pada situasi dan kondisi lain. Mereka melakukan hal yang sama saat musim yang berbeda dengan menggunakan tanaman yang dirawat baik di dalam dan di luar ruangan. Hadany mengatakan sangat yakin hasilnya sesuai dengan dugaan.

Kemudian mereka menganalisa lebih jauh tentang cara kerja suara melalui transmisi dan interpretasi getaran. Bunga pada objek penelitian yang memiliki bentuk bervariasi, seperti cekung atau mangkuk, memungkinkan menerima dan memperkuat gelombang suara seperti pada parabola. Tim kemudian membandingkan getaran dari masing-masing lima perlakukan suara.

Bentuk bunga yang menyerupai mangkuk, mampu merespons getaran rekaman lebah dengan sangat baik. Berarti bentuk fisik bunga juga berpengaruh terhadap kemampuan indra pendengarnya. Untuk memastikan temuan tersebut mereka melakukan ujicoba kembali menempatkan bunga dengan beberapa kelopak yang telah hilang. Hasilnya, bunga itu gagal menangkap suara rekaman serangga penyerbuk. Suatu penemuan yang luar biasa, penemuan ini dapat menjadi pemacu bagi peneliti lain untuk lebih jauh mengeksplor pengetahuan, keajaiban yang selama ini belum terungkap.

Apakah mungkin manisnya madu yang dihasilkan oleh lebah besar dari keluarga apis (dorsata, cerana, melipera) dan dari lebah kecil seperti tetragula/ trigona juga dipengaruhi oleh besar kecilnya frekuensi suara yang dikeluarkan lebah. Perlu dilakukan penelitian untuk membuktikannya.


Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top